Diambil dari fatwa Syaikh Abu Khitan Al-Aqiqah :

Dalam seni bersilat lidah pada perkara-perkara agamis, acapkali terjadi beberapa situasi yang mewajibkan kita untuk menghujat. Nah, menghujat pada situasi seperti ini, harus dan mesti ditempatkan pada posisi tertentu — tidak bisa asal menggunakan caci maki standar saja. Terdapat trik-trik jitu yang saya kumpulkan dari beberapa bulan blogwalking ke tempat-tempat suci yang mempergunakan trik-trik serupa.

Lho? Kenapa? Oh, memang, menghujat tidaklah terpuji di mata Tuhan, tapi zaman sekarang ini, agama bukan hanya milik Tuhan, tapi juga sejumlah ulama-ulama dan geng-geng tertentu yang tidak seramah dan sebijaksana Tuhan. Kalau anda lebih menyukai Tuhan, silakan berhenti di sini. Kalau anda lebih menyukai mahdzhab-mahdzab, jenggot-jenggot, dan 70,000 bidadariโ„ข, silakan teruskan membaca ๐Ÿ™‚

Adapun beberapa diantaranya;

  1. Pergunakan gaya syair terjemahan Qur’an Indonesia
    Ini yang paling dasar, dan paling gampang — anda mesti kuasai yang ini terlebih dahulu! Perkaya sumpah serapah anda dengan gaya syair terjemahan Qur’an Indonesia. Kalau anda belum terlalu familiar dengan gaya syair ini (entah karena anda tidak pernah membaca Qur’an atau lebih sering membaca Qur’an terjemahan bahasa lain), silakan buka-buka terlebih dahulu.

    Contoh yang salah:
    > “Kurang ajar! Kafir kamu!”
    > “Apa kamu bilang!? Keparat, kamu kira kamu sudah hebat!?”
    > “Kamu jangan cari gara-gara, ya!”
    Nah, contoh di atas adalah SALAH dan tidak ‘Islami’ sama sekali.

    Adapun contoh yang benar;
    > “Janganlah kalian bersorak sorai, niscaya kalian akan merasakan ganjarannya.”
    > “Semoga Allah membenamkan wajah kalian di lumpur kenistaan.”
    > “Sesungguhnya kalian ini adalah kera-kera yang telah ditutup mata hatinya.”
    Nah. Terasa bedanya, bukan?

    Banyak-banyaklah berlatih dengan kata-kata sakti seperti ‘sesungguhnya’ dan ‘niscaya’. Sehingga, kesannya anda itu benar-benar ‘Islami’.

  2. Perbanyak istilah-istilah dan basa-basi dalam bahasa padang pasir
    Ini juga lumayan vital. Perbanyak dan perpanjang istilah-istilah dan pelbagai basa-basi dalam bahasa padang pasir. Hal ini juga berlaku dalam penulisan nama-nama suci seperti nama para rasul, para sahabat, dan tentunya Tuhan.

    Contoh yang salah;
    > “Allah berfirman dalam Al-Qur’an…”
    > “Rasulullah SAW bersabda…”
    > “Maafkan saya, tapi bagaimanapun, saya rasa…”
    Itu sih Indonesia ๐Ÿ˜† Menurut beberapa oknum, Islam itu tidak bisa diajarkan secara Indonesia. Mesti a la padang pasir.

    Yang benar;
    > “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’anul kariim…” (bisa juga divariasikan menjadi Allah Azza wa Jalla)
    > “Baginda Rasulullah salallahu alaihi wassalam bersabda…”
    > “Afwan, tapi, ‘ala kulli hal…”
    Perhatikan baik-baik. Ini penting, dalam hal ini ada tiga hal yang mesti diperhatikan;

    Pertama, JANGAN menyingkat apa pun. SWT, SAW, wr wb, wah, hindari!

    Kedua, hapalkan berbagai variasi dalam menyebutkan nama, misalnya Azza wa Jalla, Sayyidina, Hazrat, Al-Ustadz, dan sebagainya.

    Ketiga, yang terpenting, gunakan kosa kata padang pasir sebanyak mungkin. Afwan, antum, ana, akhi… Anda harus tahu artinya, paham penggunaanya, dan rajin mempraktekkannya.

  3. Suatu hujatan harus betul-betul HANYA berisi hujatan
    Ini yang seringkali gagal dipahami. TIDAK PERLU menjelaskan duduk persoalan ataupun menerangkan kenapa dan bagaimana sang terhujat itu pantas dihujat. Hujat saja!

    Contoh yang salah;
    “Memang antum selama ini terlihat baik, dan tulisan antum pun sebenarnya tidak terlalu ofensif. Tapi apabila kita telaah, terdapat berbagai kekurangan, coba kita bandingkan dengan tulisan Al-ustadz [sensor], subhanallah, terdapat perbedaan yang cukup jauh. Oleh sebab itulah, ana merasa bahwa tulisan antum adalah syubhat dan tidak layak diterbitkan untuk menjadi bacaan ummat.”
    Ini contoh yang sangat buruk… Karena membuka peluang debat ๐Ÿ˜• Sekali lagi saya tekankan untuk TIDAK menjelaskan duduk persoalan!

    Contoh yang ‘Islami’;
    “Tulisan engkau sangatlah busuk, sangat busuk sehingga apabila diumpamakan bahwa tulisanmu dibenamkan di samudra Atlantik, seluruh samudra itu akan tercemar dibuatnya. Semoga Allah menimpakan laknat yang pedih di atasmu.”
    Dengan begini, komunikasi hanya berjalan satu arah, dan menutup kemungkinan adanya feedback yang cerdas dari sang terlaknat ๐Ÿ™‚

  4. Bertingkahlah seolah-olah yang kita lawan adalah Adolf Hitler, Armin Meiwes, Policarpus, atau bahkan yang lebih jelek dari itu
    Saya lihat justru yang satu inilah yang paling sering sekali gagal untuk diresapi. Pakai imajinasi anda. Walaupun yang anda hujat itu hanyalah orang yang telunjuknya menari-nari sewaktu shalat, bersikaplah seolah-olah ia adalah mutilator maniak sadis yang berbapakkan Dajjal dan beribukan tukang sihir ๐Ÿ™‚

    Intinya adalah; membesar-besarkan masalah!

    Contoh yang salah;
    “Janganlah berbicara sewaktu khatib ada di mimbar, perbuatan seperti itu terkesan tidak menghormati adab dan ritual shalat.”
    Aduuuuuh… Jangan begitu, itu sih terlalu realistis ๐Ÿ˜ฆ Mesti dibesar-besarkan!

    Contoh yang benar;
    “Hai orang yang batil! Ketahuilah bahwa kematian itu pasti akan tiba. Sudah siapkah engkau ketika dihadapkan di depan api neraka? Kalimat-kalimat menjijikkan yang keluar dari mulut terkutukmu itulah yang akan menjadi laknatmu di hari pembalasan.”

    Mungkin orang yang berbicara sewaktu khutbah pada contoh barusan hanyalah meminta tolong supaya teman di sebelahnya menggeser posisi duduk, tapi itu ‘kan bukan urusan anda. Betul?

  5. Kutip kalimat dari kitab suci
    Ini kartu as anda. Tidak terlalu sukar dikuasai, namun begitu ampuh. Caranya mudah saja. Cari dalil-dalil yang ditujukan pada orang-orang kafir. Tenang, ini lebih mudah dari kedengarannya, kok.

    Contohnya;

    ูˆุงู„ูˆุฒู† ูŠูˆู…ุฆุฐ ุงู„ุญู‚ ูู…ู† ุซู‚ู„ุช ู…ูˆุงุฒูŠู†ู‡ ูุงูˆู„ุฆูƒ ู‡ู… ุงู„ู…ูู„ุญูˆู†

    ูˆู…ู† ุฎูุช ู…ูˆุงุฒูŠู†ู‡ ูุงูˆู„ุฆูƒ ุงู„ุฐูŠู† ุฎุณุฑูˆุง ุงู†ูุณู‡ู… ุจู…ุงูƒุงู†ูˆุง ุจุงูŠุงุชู†ุง ูŠุธู„ู…ูˆู†

    (QS 7:8-9)

    “Timbangan pada hari itu ialah kebenaran, maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya maka itulah yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami.”

    Ayat diatas adalah salah satu contoh yang paling bagus. Bisa dipakai dalam percakapan APAPUN.

    Misalnya, anda sedang bertengkar dengan seseorang dalam suatu masalah, katakanlah berebutan memasuki WC di surau atau mushalla. Bacakan saya ayat diatas dengan gaya congkak — dada terbusung dan dagu yang terangkat, efeknya akan segera terasa;

    > Akan timbul ilusi bahwa anda adalah orang yang Maha Benar, Maha Alim, dan Maha Dekat dengan yang Maha Kuasa.
    > Akan timbul ilusi bahwa lawan anda telah melakukan kefasikan kelas berat, sampai-sampai anda membawa-bawa permasalahan yaumul mizan.
    > Anda akan menang.

    Nah, sampai di sini anda tentunya sadar bahwa sebenarnya ayat tersebut tidak relevan, bukan? Bisa saja ayat itu ditujukan pada anda, bukan? Tapi itu tidak penting. Anda ‘kan bukan menyembah Tuhan, melainkan mahdzab ๐Ÿ™‚ (Bukankah yang menyembah Tuhan akan berhenti membaca sampai paragraf kedua?)

    Memang sulit diungkapkan dengan kata-kata, tapi itulah kehebatan mutilasi dan monopoli ayat! ๐Ÿ˜›
    Relevansi? Apa itu? :mrgreen:

.

.

.

Demikianlah hasil penelitian saya, semoga dengan ini anda bisa mengeksploitasi agama dengan lebih fasih dan lebih mahir lagi ๐Ÿ™‚

Barakallahu fiikum wa jazakallahu khairaan,
Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuuh.