Berdasarkan fatwa oleh Abu atau Ummu, ya?
Seorang kawan saya baru saja kembali dari pertukaran pelajar di Malaysia. Barangkali kurang tepat disebut pertukaran pelajar, lebih pas dinamai Leadership Camp. Selesai pelatihan ya diharapkan ke-40 peserta mampu memimpin dengan baik, paling tidak, bagi dirinya sendiri.Terjadi percakapan singkat antara kami berdua. Diawali dengan basa-basi yang bener2 basi, percakapan pun mulai sedikit serius. Terbahaslah suatu issue yang telah sangat lama mendarah daging, bercokol dan mengakar, merajalela, membabibuta, atau terserahlah bagaimana anda menamainya.
Masalah apa? Jangan tanya saya, tanya dululah nurani anda sendiri. Masalah apa yang tak kunjung selesai walau ribuan seminar telah diselenggarakan demi penuntasannya?
Ah, kalau nurani anda pun ternyata tak mampu menjawabnya, maka biarlah saya yang mengingatkan anda. Barangkali setelah ini nurani anda dapat kembali berfungsi;
*Di meja kantin, Jum’at 01-06-07, beres Sholat Jum’at*
H: Ngapain lo tanggal merah gini ke kampus,Bob? Gw sih ngumpulin tugas.
B: Laporan ama Net**. Gw baru balik Senin kemarin, trus belom ngasih laporan perjalanan.*Untuk memurahkan biaya wanet anda, atau sebelum Spee** anda error lagi, basa basi saya edit.*
B: Lo bayangin, Han. Di sana tuh kalo buang sampah sembarangan denda 500 ringgit. Berapa rupiah tuh? Lo kali sendiri aja deh ama 2.700. kalo lo jalan ni ya, di jalan biasa, pengemis tuh ga ada. Sebiji Seorang juga ga ada. Tukang ngamen tuh ga ada yang rese kayak di sini. Coba lo liat Jakarta, baru kita mau makan, sendok baru aja naik ke mulut, pengemis udah nyanyi dengan sentosanya. Bikin selera ilang. Di sana? Aman, damai, tentram. Makanya gw gendutan begini.
H: Oya? Lo aja yang kebanyakan makan.*FYI, di Camp itu makan sehari 6 kali*.
B: Hehehe.. Iya juga sih. Gw berkunjung ke Universitas*** (maap, penulis lupa nama Univ-nya). Tanahnya luaaaasss banget. Di dalam komplek Universitas tuh ada mall, penginapan, danau, dll. Pokoknya komplit banget deh, Han.
H: Itu sih kita juga punya. Tuh ada Wisma, danau Gintung, lengkap pula sama kuburannya. Sebenernya masalahnya Cuma satu. PENDIDIKAN.*Cuplikan dihentikan, selanjutnya akan terpapar dalam bentuk
makalahparagraf.*
Betul, Pak, Bu, Kak, Dek, Neng, Bang, Anda semuanya. Pendidikan. Sebuah kata sederhana yang menimbulkan begitu banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Akar sebagian besar masalah di negeri kita yang tercinta ini adalah pendidikan.
Izinkan saya bercerita sesuatu pada anda.Dulu, Malaysia diperintah oleh Yang Dipertuan Agung sebagai penguasa tertinggi dan terdapat 30 kerajaan kecil, sejenis propinsi barangkali, yang juga dipimpin oleh raja-raja kecil. Setiap kerajaan kecil tersebut membuat APBK sendiri. Dan 30% dananya dialokasikan untuk pendidikan. Pernah terdapat suatu masa di mana Indonesia mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Kini Indonesia mengirim TKI. Bagaimana bisa kita tertinggal sebegitu jauh?
Sekali lagi, ini semua berakar pada pendidikan. Kita semua mengetahui wajah pendidikan Indonesia. Tanya saja KangGuru, atau Pak DeKing. Kalau saja bisa, ingin rasanya wajah pendidikan kita itu dioperasi plastik, atau mungkin operasi gigi, supaya lebih sedap dipandang dan mampu ‘menggigit’. Kebobrokan demi kebobrokan adalah lazim adanya.
Kalau anak-anak tak bisa sekolah karena bangunan sekolah terendam lumpur, memangnya kenapa? Yang penting, kan, mereka™ dapat tidur nyenyak di atas spring bed lengkap dengan AC. Nanti juga diberi uang ganti rugi kok, tenang saja. Kalau si Otong atau si Ucok tak mampu bayar SPP memangnya kenapa? Masih banyak kok yang mampu. Biaya operasional sekolah kan mahal, kalau tidak mampu ya jangan sekolah. Darimana nanti biaya studi banding ke luar negri atau biaya cicilan mobil kepala sekolah? Di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau Tini atau Tono tidak lulus ujian memangnya kenapa? Itu kan salah mereka sendiri. Sudah diajari, tapi tidak bisa mengerjakan soal. Setiap hari diberikan contoh soal, disuruh mencatat tulisan di papan tulis, tapi masih juga tidak lulus. Padahal sudah disuruh membeli buku pelajaran seabrek, tapi tidak dibeli. Ya salah mereka sendiri, memang tidak ada kemauan untuk lulus bukan alasan tak ada fulus. Kalau si Siti atau Budi meninggal di tengah proses pendidikan memangnya kenapa? Itu kan karena sakit liver, pembinaannya baik-baik saja kok. Baru 37 saja yang mati kok sudah ribut?
Begitulah. Cantik bukan wajah pendidikan Indonesia? 22 juta, atau mungkin lebih, penduduk Indonesia terlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing sehingga luput menengok masalah kecil yang kini membengkak. Sebagian ruwet mondar-mandir antara rumah dan kantor. Presentasi di sana, transaksi di sini. Sebagian lagi tenggelam di tempat-tempat ibadah. Mencari 70.000 vagina basah kedamaian bagi batinnya sendiri. Sisanya terlalu malas untuk peduli.
Banyak masalah lain yang bisa kita tuntaskan bila kita mampu meningkatkan kualitas pendidikan, bukan lagi kuantitas. Untuk apa ribuan sekolah tersebar di Indonesia kalau kita masih saja mengalami buta huruf dan kemiskinan. Berikan vitamin dari dalam untuk pendidikan Indonesia, sehingga kulit luarnya pun akan ikut cerah. Sampai kapan kita akan terus mengekspor TKI? Kapan kita akan mulai mengirim insinyur?
Juni 5, 2007 at 8:24 pm
Hari gini pendidikan kok bayaaar??? 😐
Hee, btw, saya lumayan sering lho buang sampah seenak jidat di Malaysia; dari bungkus permen sampai kantong mekdi Pengemis memang jarang, yang ramai itu yang jualan tissue — jauh lebih mendingan sih 😛
Juni 5, 2007 at 8:26 pm
Seorang kakak kelas saya pernah berucap bahwa pendidikan di Indonesia semata-mata untuk cari gelar saja, kalau pingin serius dapat ilmu kita harus rajin buka-buka referensi dan jurnal-jurnal sendiri. Mungkin memang di Indonesia dilatih buat belajar mandiri ya 🙂 Tapi sarananya seperti buku murah harus dilengkapi juga dong.
Juni 5, 2007 at 8:28 pm
@Cap Geddoe
kok bisa ga kena denda??
Juni 5, 2007 at 8:29 pm
Heee… Kata Odi nyari gelar? Gelar buat apa? Buat nyari duit~
Nyari duit itu manusiawi kok, cuma jalannya aja, ada yang benar, semi-benar, dan aneh…atau gimana ya?
Here gene pendidikan jadi ajang bisnis…?
Nyari fulus buat para beruang…?
Juni 5, 2007 at 8:31 pm
Hmm,, susah juga mo bikin pendidikan gratis -sebenernya ga cuma di pendidikan-,, banyak potongan dari atas,, -menurut pengalaman Mama Ma-
tapi mungkin sebenernya masi ada harapan buat orang Indonesia buat jadi lebih baik di bidang pendidikan kan,, moga moga aja bisa jadi lebih baik,, 🙂
Hana, nice one!!
-eh padahal Indonesia sering menang olimpiade SMA ya,, tapi cuma sebagian orang aja yang bisa begitu sihh,,-
Juni 5, 2007 at 8:35 pm
Yah… gimana mau maju…. kita cuma nyalin rumus ama pinter-pinter nyembunyiin HP ama tu salinan rumus di bawah bangku…. beres…. dapet tuh gelar ampe namanya bisa dua baris ++
ngomong-ngomong soal buang sampah… jadi inget waktu itu pas gw lagi di orchard road makan es krim… es krimnya netes sy langsung ambil langkah seribu… males banget denda 500 S$…..
Juni 5, 2007 at 9:19 pm
beginilah nasib pendidikan di Indonesia. tapi kata Odi itu ada benarnya. orang kuliah buat nyari gelar. karena di tempat kerja pun rata2 mencari:
1. Minimal lulusan S1
(Lulusan Luar Negri lebih diutamakan)2. Pengalaman kerja minimal 2 tahun (fresh graduate akan dipertimbangkan)
3. Lancar berbahasa
IndonesiaInggris (bahasa lain dapat menjadi pertimbangan)4. IPK minimal 2,8 (dalam skala 4,0)
5.
Memiliki kendaraan sendiri6.
Singlede el el
jadi bisa dibilang sekolah tinggi2 hanya untuk nyari gelar. nanti kerjanya pun kadang ga sesuai sama jurusan. bukan begitu??
Juni 5, 2007 at 9:25 pm
Tanyaken…..apa?
Ga ada pendidikan, rakyat semakin banyak yang bodoh dan bisa dibodoh2i..
Juni 5, 2007 at 9:54 pm
Mengenaskan…
Mesti ada solusi dari tiap masalah kan ya? Sampai hari ini bukannya tidak ada solusi untuk masalah-masalah di tempat kita, tapi selalu saja mal-praktek begitu di lapangan…
Setuju, kalau ada banyak masalah yang ingin dituntaskan, jawaban tepatnya mestilah PENDIDIKAN.
Mengusahakan agar dana pendidikan yang 25 % dari anggaran negara untuk TIDAK dikorupsi saja masih jadi perjuangan besar. Ffuihh… Pendidikan, moral, kesejahteraan… tali temali gitu jadinya… *ngusap keringat*
Angka 22 juta atau mungkin lebih ini maksudnya untuk jumlah kaum berpendidikan di Indonesia ya mbak?
Kalau jumlah penduduk di Indonesia (sensus 2005 sih ini) jumlahnya ditetapkan pada angka 241.973.900 (lebih kurang)…
Mari benahi pendidikan kita, lalu langkah awalnya? Pasti dari kita sendiri… ^_^
@ Geddhoe deLa Rocha
Glekk!!
Geddoe!! 👿
Jangan menambah malu NEGERI dengan sewenang-wenang buang sampah begitu.Kalau tidak konsisiten dengan hal-hal kecil, mau bagaimana tuh ambisi merubah wajah pendidikan Indonesia??
karena itu, sadarlah wahai Geddhoe
Juni 5, 2007 at 11:09 pm
halah, gelar/ijasah itu cuma kepake paling lama sampai dua tahun dari lulus kuliah.. (kecuali kamu kerja di bidang riset atau penelitian) or at least that’s what i heard from my lecturer. setelah dua tahun, kemampuan interpersonal dan kemauan belajar itu lebih ngaruh.
*masalahnya dua tahun itu harus dilewati*
…
…
…
gitu aja kok repot? apa yang bisa kita lakukan? intinya, mending cepet lulus biar ga ngabisin lebih banyak lagi duit subsidi negara untuk pendidikan! setelah lulus, berwirausahalah, bikin lapangan pekerjaan buat orang lain! kok malah mikir cari kerja? kalian itu (mahasiswa PTN) sudah bikin dosa karena menyisihkan orang lain pas SPMB, mau bikin dosa lagi gara-gara ngambil jatah kerjaan lulusan SMA dan non-PTN?
*malah curhat*
*sudah sudah, mulai OOT*
Wassalamu ‘alaikum.
Juni 6, 2007 at 7:01 am
Yup betul menurutku akar permasalahan kita adalah pendidikan mustinya nomer satu, klo rakyat pinter lebih mudah diatur, ga usah di teriak2in udah jalan, di sekolah khan udah dididik klo buang sampah sembarangan bikin kotor, penyakit dan banjir… orang Indonesia itu ga kalah pinter di bandingkan ras lainnya, nilai juga bisa bulet 100 atau A meski ada halangan bahasa…tapi ya mungkin mentalnya aja dan ga banyak yg mengeny pendidikan, seentara klo pulang lebih sibuk mikirin urusan perut instead of berkarya…entahlah wallahualam andai semua bisa berubah… setiap dari kita nyumbang dikit… aja mungkin akan ake different 😉
Juni 6, 2007 at 7:18 am
pendidikan? APBN 20%? hemmm yummy…
ini lahan basah buat tikus birokrasi…
@cK
bener tuh, banyak (banget) yang kesasar. Kerja gak sesuai jurusan. Kondisi lapangan kerja yg tersedia gak sama dengan latar belakang pendidikan angkatan kerja yang ada, jadi ya mesti mau “sekolah” lagi. Kecuali beberapa bidang teknis tertentu, misalnya dokter. Pun, dokter banyak yang lari ke Asuransi sekedar nge-cek apakah klaim medical benefit yg masuk bisa dibayar or gak.
*cari alasan buat diri sendiri*
Menurutku sih, ijazah sarjana cuman kayak jadi karcis bioskop doang. Diperluin waktu mau masuk, di depan pintu disobek, that’s it. Abis itu kita gak butuh lagi. Toh, kalo mau pindah cuman dibutuhin CV n referensi tempat kerja. cmiiw.
Juni 6, 2007 at 9:39 am
“Kapan kita akan mulai mengirim insinyur?”
Bukannya yg jadi TKI itu banyakan yg gelar insinyur juga??
*termasuk salah satu* 😀
Pernah dengar cerita kalau dulu Petronas (Pertamina nya Malaysia)ngirim staff2 nya utk training di Pertamina Indonesia. Sekarang sudah ada Menara Kembar milik Petronas…. yg menjadi salah satu icon Negeri tetangga itu, mana menara Pertamina nya ya???
*nepuk2 jidat yg ga bersalah*
Juni 6, 2007 at 9:43 am
@Ck
“nanti kerjanya pun kadang ga sesuai sama jurusan.”
Bukan hanya ga sesuai jurusan tuh. Malahan ada bbrp yg gwa interview utk job yg sesuai jurusannya tidak bisa menjawab hal2 vital yg mendasar yg mendukung job yg dia lamar.
Gimana tuh coba??? waduh.. biyung *gaya Pak Raden*
Juni 6, 2007 at 9:59 am
Wah komentnya dah bagus-bagus ampe gak tahu harus koment gimana lagi
Oh Pendidikan Oh Pedagogi…
Jadi inget Paulo Freire…
Juni 6, 2007 at 1:07 pm
sebagai seorang bekas “TKI”, ketika membaca kalimat itu terus terang agak merasa gimana gitu … tapi kalo dipikir-pikir emang bener, kita selama ini lebih banyak mengirim tenaga kasar daripada tenaga ahli …
memang kualitas pendidikan di Indonesia belum mencapai taraf yg memuaskan, tapi semantap apapun pendidikannya kalo ngga diimbangi dengan kedisiplinan pribadi dan rasa nasionalisme yg tinggi ya percuma aja … inget, kita semua di doktrin pendidikan moral dari kecil sampe segede gini, bukankah ini saatnya menerapkan doktrin itu …
Aku memang bukan sarjana, ijasah terakhirku ijasah SMU, tapi aku bisa bekerja di LN sebagai “tenaga ahli” dengan bayaran 9 digit rupiah per bulan…. aku bukan mau nyombong, aku cuma pengen mengajak semua pengunjung omaigat, ayo kita bangun Indonesia sama-sama, jangan cuma bisa mengejek atau mengumpat negara kita tercinta ini..
Juni 6, 2007 at 7:10 pm
@Semuanya esp. mbak Joerig
begini lho..ada sedikit misunderstanding nih..mungkin dari bahasa yg saya pakai ya 🙂
mohon maaf sebelumnya sama semua pihak yg agak terganggu dengan tulisan saya yg bagian TKI itu. maksud saya bukan TKI yang sebagai tenaga ahli. kalo yang tenaga ahli sih saya bangga, bangga banget malah. maksud saya yang dikirim sebagai buruh kasar, pembantu rumah tangga dan semacamnya, kebanyakan wanita pula. kalaupun yang banyak dikirim dan jadi buruh kasar itu ternyata insinyur, ya betapa disayangkannya mereka tidak dimanfaatkan sesuai keahlian. begitu lho.. maap sekali lagi kalo menimbulkan salah paham.
Juni 7, 2007 at 2:03 am
hm…kalo menurut saya, justru pendidikan di Indonesia yang tergolong murah itulah salah satu penyebab ‘orang yang dididik’ itu kurang meresapi arti pendidikan sebenernya, dan cenderung meremehkan.
Lha…?apalagi kalo digratisin tuh…?
Okay…secara rating mungkin Indonesia bakal jadi negara top markotop coz penduduknya berpendidikan semua, tapi secara kualitas…ohoho…tidak njamin…
pendidikan yang murah seperti di kampus saya juga mbikin yang sekul, atau kul, jadi males buat cepet2 nylesein studinya. Jatah waktu yang normalnya 4 tahun bisa jadi 7tahun.
Coba pendidikan dibikin mahal…orang2 bakal nggak akan menyia2kan kesempatan buat belajar.
kek gitu kali ya?
ah…saya sendiri juga tetep lebi suka yang mura sih…
ehehehe…
Juni 7, 2007 at 5:04 am
Kalian semua yang ngomong pinter-pinter begini, pastinya banyak belajarnya dari negeri sendiri kan? Tapi kenapa selalu menjelek-jelekann negeri sendiri. Objektif dong!!!!
Jangan yang jelek-jeleknya saja yang diomong-omong!!! Yang bagusnya malah ga dikatakan? Seperti tak berterimakasih saja (tak bersyukur hidup di negeri tercinta).
Juni 7, 2007 at 6:38 am
::omaigat:
Sebentar … sebentar…
Ya memang tidak salah kalau pendidikan memiliki andil penting dalam kemajuan bangsa…
Tetapi kita tidak boleh lupa kalau pendidikan di negara kita masih sangat tergantung pada kebijakan pusat, jadi kita tidak bisa semena2 menyalahkan sang pendidikan tsb.
Mutu pendidikan kita yang kurang kan sangat dipengaruhi perhatian dan kebijakan pemerintah kita terhadap pendidikan
Minimnya perhatian pemerintah (terus terang khususnya dalam masalah anggaran) lama2 menggiring pada suatu komersialisasi akan pendidikan…
Bahkan sepertinya kalau dilihat2 pendidikan di negara kita tidak hanya terkena virus komersialisasi, tetapi juga politisasi
Jadi repot kalau begini…di manakah akar semua persoalan tsb?
Pendidikankah atau pemerintah pusat (yang orang2nya juga merupakan produk pendidikan kita juga)?
@Mathematicse:
Jangan emosi gitu Pak…
Sebenarnya teman2 di sini juga cukup obyektif, tetapi memang mereka lupa hanya memberikan contoh2 buruk.
Lagian sebenarnya tulisan mereka ini justru mencerminkan rasa cinta mereka pada bangsa dan negri ini…memang sih saat ini apa yang mereka lakukan (saya juga) masih sebatas berteriak2 menunjukkan kekurangan … memang sih mereka (dan saya juga) belum bisa memberikan suatu solusi apapun..walau hanya sebatas wacana..
Memang benar kita perlu memberikan contoh baik juga, tetapi kadang2 contoh baik tsb justru digunakan untuk melegalisir kekurangan yang ada…sering sekali contoh baik tsb selalu menjadi dalih dan alasan toleransi kita atas kekurangan tsb..
Juni 7, 2007 at 8:51 am
percuma lu coi komen2 kayak gini..
mendingan lu bergabung aja di “System” indonesia yang GE(mer)LAP ini!
yaitu: beli aja ijasah palsu, gak usah sekolah cape2..
dijamin sukses dan beres coi!
Juni 7, 2007 at 9:36 am
@ mathematicse
Om ini gimana sih? Yg namanya kritik itu tentu yg jelek2 dong yg dikritik. Kalo yg bagus ngapain dibahas? Ntar malah berubah jadi jelek (akibat terlalu sombong sering dipuji2).
@chiw imudz
Ga juga ya, denger2 di Amerika itu kuliah di kasi uang saku lagi. Tapi kok mereka bisa maju ya teknologinya? Jadi semua itu tergantung orangnya deh, kalo malas ya jadi mahasiswa abadi. Teman gwa orangnya pintar, selalu IP tertinggi dan uang kuliah dia gratis kok (ini di Indo lho) 3 taon selesai.
Juni 7, 2007 at 9:45 am
@calonorangtenarsedunia
Wah, Mas(atau Mbak ya?)… ternyata juga salah paham dgn yg gwa maksud dalam tulisan gwa “Bukannya yg jadi TKI itu banyakan yg gelar insinyur juga??”
Mungkin gwa kurang pandai nulis satir hehehe… itu maksudnya sih saking sedikitnya lapangan pekerjaan dibanding pengangguran atau gaji yg ditawarkan tidak bisa menutupi kebutuhan hidup maka yg insinyur sekalipun memilih jadi TKI. Gaji TKI kan setingkat gaji manajer di sini.., ga usah pusing2 lagi mikirin tanggung jawab, bisa jalan2 lagi di negeri orang.
Ya kira2 seperti itu.
Juni 7, 2007 at 11:36 am
SIP!! Baru sempat baca entry pendidikan omaigat dan emang bagus! Pendidikan di Indonesia udah hancur lebur baik oleh siswa maupun gurunya.
*sebelum itu maaf kalau ada guru yang tersinggung.
Kalau dari saya baca (di sini) sepertinya pendidikan Indonesia itu sudah tercemar yang namanya uang, kekuasaan, politik, dan lainnya.
Juni 8, 2007 at 1:11 am
Hehe….
Yang nanggapi koment saya di atas justru yang pada emosi. Harusnya jangan emosi dong!!! Artinya, yang berteriak tak boleh emosi justru ia sendiri yang emosi. Ada-ada saja ya dunia ini…(mungkin ini kali ya yang namanya paradox?)
Juni 8, 2007 at 1:50 am
Numpang nimbrung nih Mas…
Wah, kalo menurut saya sih, kita ga bisa disamain dengan malaysia dong.. Kenapa? Tentu karena kebijakan soal selain pendidikan tak sama dengan negara tercinta kita ini. Contoh, masalah pajak. Mereka kan pajak atas harta gede banget, belum lagi denda. Dikit2 denda. Salah dikit denda. Kalo di Indonesia diberlakukan kayak begitu. Yakin:nih negara bakalan sepi, penjara penuh.
Kalo menurut saya lagi, masalah pendidikan di negeri kita tercinta ini seperti lingkaran setan. Mengapa pendidikan tak maju? Karena rakyat miskin. Mengapa miskin? Lapangan kerja tak ada. Mengapa lapangan kerja sedikit? Iklim investasi acakadut. Mengapa iklim investasi acakadut? Orang-orang anarkis, binal, tak bermoral, bikin ngeri. Mengapa orang-orang seperti itu? Biasanya karena tak berpendidikan atau salah asuhan. Hla, kembali lagi kan?
Jadi, (lagi2) menurut saya, kita jangan berkeluhkesah soal mutu pendidikan. Bukankah kesemuanya ga bisa didapet dari berkeluh kesah? Yang ada: capek… capek… capek… capee deh…
Saya mau usul nih.
0. Bikin sekolah murah.
Ingat: m-u-r-a-h, bukan gratis. Kalo gratis, takutnya mendidik orang kita makin manja dan malas. Tambahi semacam kontrak kerja dengan calon siswa. Syaratnya: tidak mampu, mau kerja keras, mau belajar. Setiap bulan evaluasi, kalo ga sesuai standar jangan diterusin (baca:usir dari sekolah murah). Jangan sampai kita biayain anak jalanan, tapi kontribusi mereka payah, duit dari DepSos dibuat ngecat rambut, bikin tato, bolongin kuping, beli kalung rantai, dll yang mencirikan mereka memang bermental GEMBEL. Banyak kok, orang kaya tapi mentalnya GEMBEL. Parahnya, mental GEMBEL ini diturunkan pula ke anak-anaknya. Liat aja tuh di perempatan lampu lalu lintas, ngakunya sih buat makan. Tapi baju mentereng… Payah.. *sori agak emosi*
Saya pernah lihat di salah satu tv swasta (sori lupa acaranya apa, maklum ga punya tv), dengan bermodalkan bangunan sederhana, tanpa seragam, sebuah sekolah yang didirikan di sebuah kampung kecil bisa punya akses internet. Tidakkah hal ini membuat kita kagum?
1. Alokasikan anggaran pendidikan secara optimal, bukan maksimal.
Optimal berarti tak melulu harus mengikuti
sunnahketentuan dari UU atau aturan. Mengapa? Angka 20 persen itu saya ga tahu dapetnya dari mana. Bisa-bisa kesehatan masyarakat anjlok gara-gara terlalu banyak dana sehat yang disedot buat bikin sekolah, atau kita ga bisa beli pesawat canggih dan kapal kenceng (buat ngejar maling ikan) karena dana hankam buat beli buku yg banyak.2. Perbaiki kurikulum.
Gimana mau pinter? Hla wong silabusnya ga jelas, mata kuliah ga bonafid turut dijejalkan ke otak mahasiswa, proses pendidikan masih pake otot, kesejahteraan guru kurang,dll. Jangan malu untuk belajar dari negara tetangga. Curi ilmu sebanyak-banyaknya. Takkan berkurang harkat bangsa ini hanya karena mengirimkan duta untuk kemudian memberi pengarahan pada meshia-meshia lain di segala penjuru negeri ini.
3. Tarik pajak orang kaya jauh lebih besar.
Pajak memang menjadi sumber pendapatan negara yang tak bisa dipandang sebelah mata. Bahkan pada zaman dahulu, salah seorang pemimpin Islam (lupa namanya, referensi:Kartun Peradaban 3 karya Larry Gonick) menetapkan pajak yg jauh lebih tinggi kepada yahudi dibandingkan muslim. Atau, diberi dua pilihan: dipaksa menjadi muslim, atau keluar dari kota tanpa meninggalkan harta. Wohohoho.. lumayan kejam.
CMIIW
Juni 8, 2007 at 5:18 am
@ mas Pramur
Iya,, Ma agak kasia nama dosen Ma juga,, gajinya itu bener bener ga mencukupi banget,, dan mereka dokter,, -kalo diitung itung itu dapet dari praktek brapa hari-
kalo bukan gara gara niat ngajar,, mana mau rugi kaya gitu,, dan kalo yang ga terlalu niat,, muridnya ga terlalu diurusin,, -jadi tempat jualan buku-
yang ini juga susah,, masih dengan standar pajak yang sekarang aja,, yang kaya kaya itu udah nyuap orang pajak buat ga dicek berapa pajaknya,, -pengalaman kakaknya temen Ma yang kerja disana-
Ma kebayang aja, kalo nyuapnya 10-20 juta,, sebenernya pajak yang harus dibayar itu berapa ya?? 🙂
Hikss,, Inedonesia tanah air beta,,,
Ma udah bingung ,, mana yang harus mulai diperbaiki duluan,,
yah,, orangnya sendiri sendiri,,
Juni 8, 2007 at 10:18 am
bikin planet sendiri aja yukkkkk 😆
soal pendidikan nek ndeso
kalo yang ini rada beda ma yang kuto-kuto (di kota)
sini kebanyakan kurang bisa berkembang karena
banyaknya keterbatasan. Kek na segh anggaran udah ada
tapi entah kenapa kok ya gak turun-turun ke bawah.
Mampet apa ya kerannya?
20% aja kok syusah.
Juni 8, 2007 at 12:01 pm
#CY
secara Amrik, itu bisa diterapkan Mbak…
Lha di Indonesia…secara mental masi seperti itu, bisa kita lihat di kasus yang marak beberapa bulan ini (baca:IPDN).
Mereka skul gatris, n dikasi gaji pula!
mengenai teman anda yg dapet beasiswa, ya jelas dia bs cepet, wong dia dapet beasiswa juga ndak asal dapet tho?
yang kek gitu emang bisa motivasi juga, coz beasiswa itu biasanya ada ketentuan khususnya juga (misal:IP tidak boleh dibawah 2,00, dll untuk ‘menjaga prestasi’ beswan)
dan saya rasa, pemebri beasiswa juga gak asal ngasih. Masa gara2 saya cakep, trus saya dikasi beassiswa, lha…kalo gitu bakalan bantak yg ngasi beasiswa ke saya…
🙂
*mode narsis ON*
hehe5005x…
back to atas…
hmm…Mas Pramur boljug tuh yang petama. Jadi, semacam ada kontrol kualitas atau pengendalian mutu gitu ya?
Juni 8, 2007 at 4:12 pm
@ Chiw Imudz
Wah.., gw cowok kok jgn dipanggil mbak deh.. 😀
Kalo IPDN itu kan sekolah utk calon pejabat makanya pelajarnya pada sok semua. Sedangkan di Amrik itu kan sekolah umum, jadi beda dong…
*OOT mode=on*
jadi Chiw Imudz ini cakep ya …?, kenalan dong kakakkaka..
@Pramur
Saya setuju sekali dgn usulan mas.., terutama yg sekolah murah. Jadi mikir nih kapan ya terwujud?
Mungkin kita harus lobi orang2 kaya yg mau nyumbang utk dirikan sekolah gituan.
Juni 8, 2007 at 9:12 pm
Wii, baru kali ini ada yang bilang minta ganti kurikulum. Habisnya teman-teman saya dan keluarga saya pada ga setuju kalau saya bilang seperti itu.
Menurut saya sih memang perlu karena porsi kurikulum SMA dan SMP itu sudah overdosis.
Juni 9, 2007 at 12:12 pm
Numpang nimbrung nih Mas…
@ Ciw
Kontrol kualitas? Saya gatau sejauh mana Komite sekolah (sori,itu yg orangtua siswa dilibatkan itu namanya apa ya? Maaf, saya jarang nonton TV) berperan dalam peningkatan mutu sekolah.
@ Ma
Soal pajak, Anda betul sekali. Orang Indonesia susah, sistemnya juga :). Afaik, ada sistem namanya syariat Islam (jgn berpikir negatif dulu) yang mengatur soal ini. Namanya? Zakat. Kalo Anda pikir setiap kepala kaya diambil 2.5% hartanya, kira2 ada berapa trilyun yg bisa digarong ya? 😀
@ CY
Sekolah murah udah banyak kok…
Cuma mungkin belum terekspose. Tapi saya ga mau nyebut merek, soalnya tuh sekolah ada kaitannya sama gerakan tertentu. CMIIW
@ divineangel
Iya nih, orang-orang di sekitar saya juga banyak yg masih nurut. Misalnya, kita disuruh belajar GUI (dosennya masuk cuma 4 kali satu semester, ga dapet apa2 dari sini) atau kalkulus (padahal ga dipake pas kerja). Dengan adanya isu pembentukan FTI di UGM, program studi kami dilanda krisis pengikut. Ditakutkan, mulai tahun depan, ga ada lagi yg mau masuk ke Program Studi Ilmu Komputer Jurusan Matematika (Dont u think its weird?) Fakultas MIPA (ini lagi…)
CMIIW
Juni 9, 2007 at 2:10 pm
@pramur
walah… Fakultas MIPA juga tho? 😀
Iya ya… yang begitu itu ya bikin serem orang buat join 😦
Juni 9, 2007 at 9:24 pm
ramai bentul ya di sini.. 🙂
@Pramur
Saya setuju, Mas. Itu problem solving yang saya tunggu. Saya sepakat dengan Mas Pramur. tetapi kalo poin terakhir soal pajak orang kaya itu kayaknya susah, Mas. Masalahnya yang bikin peraturan itu orang2 kaya juga. jadi apa iya mereka rela ‘merugikan’ dirinya sendiri?
@Pak De
Kalo Pak De meu membaca sekali lagi tentu Pak De bisa memahami maksud saya. Memang saya menyebut akar masalah adalh pendidikan, tapi saya juga menyebutkan keadaan yang menyebabkan pendidikan kita jadi begini. Dan itu menyangkut kebijakan pemerintah. Bagaimana, Pak de? 🙂
@Mathematics
Yang bagus2 tentu semua sudah tau. dan mengingat kecenderungan kepribadian manusia Indonesia yang cepat puas karena alamnya
pernahmenjanjikan, maka saya mengambil contoh buruk supaya jadi cambuk dan kita tidak lagi menjadi manusia Indonesia yang mudah puas dengan sedikit keberhasilan hingga lantas tidak melihat keburukan laten.@Divineangel
Betul. Banyak banget pelajaran yang sebetulnya tidak terlalu perlu namun dimasukan di kurikulum. akhirnya menambah beban belajar siswa dan mengaburkan fokus. pada akhirnya siswa banyak yang bingung menentukan minatnya.
Juni 11, 2007 at 11:12 pm
@ calonorangtenarsedunia
Benar juga. Terus terang, Ayah saya sendiri pun masih bingung soal zakat harta yang 2setengah persen itu. Dan cenderung enggan membayarnya, dengan dalih bahwa belum cukup kewajiban. Emang susah…
Juni 12, 2007 at 5:06 pm
Halah.. jaman sekarang jaman edan.., anak SD/SMP tiap kesekolah bawa banyak buku, beratnya sama dgn dumbell yg gw angkat tiap hari. Eh, anak kuliahannya malah bawa buku cuman satu atau dua doang…!!! Kasian tuh anak2 SD/SMP masih kecil2 suruh fitness sambil ke sekolah.
Zaman gw SMP dulu perasaan ringan2 aja tas bawaan tuh…
Juni 13, 2007 at 9:05 am
@ CY
Hahaha.. Teman saya malah lebih aneh. Semua bukunya dititipin di sekolah, jadi dia lenggang kangkung aja kalo sekolah.
Eh, ini termasuk OOT ya…
*kaburrrr…….*
Juni 16, 2007 at 2:44 pm
@CY
aduh, jadi tersendir..saya ini termasuk mahasiswa yang ga bawa buku kalo kuliah. Paling2 bawanya buku statistik, soalnya ga bisa kalo cm didengerin doang.hehehe47x…buku2 saya simpen di rumah, jadi bacanya ga di kampus pas kuliah. Waktu di kelas saya nyimak dosen ngomong apa trus bikin perbandingan sama bacaan saya. *lho, kok jadi OOT*
@Pramur
Saya pas SMP dan SMA juga gt, mas. Bukunya dimasukin dlm lemari semua, kadang2 sepatu jg. Jadi sekolah cuma bawa diri aja dan pake sendal.hehehe47x…tapi skrg udah insaf kok.
Juni 16, 2007 at 3:34 pm
@calonorangtenarsedunia
bwahahahah… sorry jadi tersindir, padahal maksud saya nyindir kurikulum yg mengharuskan anak SD/SMP bawa buku banyak2 itu lho… kan berat tuh….
Btw gw sendiri waktu kuliah cuman bawa kertas HVS kosong 3 lembar doang (tapi IP ga malu2in dong) hehehe…
sekarang juga udah insaf (maksudnya ga bawa2 HVS lagi) krn sudah lulus.
*ketauan belangnya* 😀
Juni 16, 2007 at 11:16 pm
jaman SD,, SMP,, gilee,, Ma pernah nimbang tas Ma,, 5 kilo!!! gile betul tiap hari bawa itu,,
belajar ya,, belajar,, (Ma harus rajin rajin belajaar,,)
rugi banget udah bayar buat sekolah tapi ga dimanfaatin ya,, (pesen buat diri sendiri) 😛
Juni 16, 2007 at 11:22 pm
Bukannya cuma bingung. Tapi direpotkan juga. Saking banyaknya beban pada pelajaran yg dianggap penting. Mengaburkan fakta bahwa pelajaran kacangan macam kesenian, PPKn, PLKJ, Mulok, dan Bahasa itu penting.
Februari 25, 2008 at 4:17 pm
[…] Ya selain saya mau pamer kebahagiaan, saya juga mau ngadu. Karena setelah lobi saya tadi jebol, Pak Rahma* sempat menyebutkan sesuatu yang membuat saya terusik. […]