Berdasarkan fatwa oleh Abu atau Ummu, ya?

Seorang kawan saya baru saja kembali dari pertukaran pelajar di Malaysia. Barangkali kurang tepat disebut pertukaran pelajar, lebih pas dinamai Leadership Camp. Selesai pelatihan ya diharapkan ke-40 peserta mampu memimpin dengan baik, paling tidak, bagi dirinya sendiri.Terjadi percakapan singkat antara kami berdua. Diawali dengan basa-basi yang bener2 basi, percakapan pun mulai sedikit serius. Terbahaslah suatu issue yang telah sangat lama mendarah daging, bercokol dan mengakar, merajalela, membabibuta, atau terserahlah bagaimana anda menamainya.

Masalah apa? Jangan tanya saya, tanya dululah nurani anda sendiri. Masalah apa yang tak kunjung selesai walau ribuan seminar telah diselenggarakan demi penuntasannya?

Ah, kalau nurani anda pun ternyata tak mampu menjawabnya, maka biarlah saya yang mengingatkan anda. Barangkali setelah ini nurani anda dapat kembali berfungsi;

*Di meja kantin, Jum’at 01-06-07, beres Sholat Jum’at*

H: Ngapain lo tanggal merah gini ke kampus,Bob? Gw sih ngumpulin tugas.
B: Laporan ama Net**. Gw baru balik Senin kemarin, trus belom ngasih laporan perjalanan.

*Untuk memurahkan biaya wanet anda, atau sebelum Spee** anda error lagi, basa basi saya edit.*

B: Lo bayangin, Han. Di sana tuh kalo buang sampah sembarangan denda 500 ringgit. Berapa rupiah tuh? Lo kali sendiri aja deh ama 2.700. kalo lo jalan ni ya, di jalan biasa, pengemis tuh ga ada. Sebiji Seorang juga ga ada. Tukang ngamen tuh ga ada yang rese kayak di sini. Coba lo liat Jakarta, baru kita mau makan, sendok baru aja naik ke mulut, pengemis udah nyanyi dengan sentosanya. Bikin selera ilang. Di sana? Aman, damai, tentram. Makanya gw gendutan begini.
H: Oya? Lo aja yang kebanyakan makan.*FYI, di Camp itu makan sehari 6 kali*.
B: Hehehe.. Iya juga sih. Gw berkunjung ke Universitas*** (maap, penulis lupa nama Univ-nya). Tanahnya luaaaasss banget. Di dalam komplek Universitas tuh ada mall, penginapan, danau, dll. Pokoknya komplit banget deh, Han.
H: Itu sih kita juga punya. Tuh ada Wisma, danau Gintung, lengkap pula sama kuburannya. Sebenernya masalahnya Cuma satu. PENDIDIKAN.

*Cuplikan dihentikan, selanjutnya akan terpapar dalam bentuk makalah paragraf.*

Betul, Pak, Bu, Kak, Dek, Neng, Bang, Anda semuanya. Pendidikan. Sebuah kata sederhana yang menimbulkan begitu banyak hambatan dalam pelaksanaannya. Akar sebagian besar masalah di negeri kita yang tercinta ini adalah pendidikan.

Izinkan saya bercerita sesuatu pada anda.Dulu, Malaysia diperintah oleh Yang Dipertuan Agung sebagai penguasa tertinggi dan terdapat 30 kerajaan kecil, sejenis propinsi barangkali, yang juga dipimpin oleh raja-raja kecil. Setiap kerajaan kecil tersebut membuat APBK sendiri. Dan 30% dananya dialokasikan untuk pendidikan. Pernah terdapat suatu masa di mana Indonesia mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Kini Indonesia mengirim TKI. Bagaimana bisa kita tertinggal sebegitu jauh?

Sekali lagi, ini semua berakar pada pendidikan. Kita semua mengetahui wajah pendidikan Indonesia. Tanya saja KangGuru, atau Pak DeKing. Kalau saja bisa, ingin rasanya wajah pendidikan kita itu dioperasi plastik, atau mungkin operasi gigi, supaya lebih sedap dipandang dan mampu ‘menggigit’. Kebobrokan demi kebobrokan adalah lazim adanya.

Kalau anak-anak tak bisa sekolah karena bangunan sekolah terendam lumpur, memangnya kenapa? Yang penting, kan, mereka™ dapat tidur nyenyak di atas spring bed lengkap dengan AC. Nanti juga diberi uang ganti rugi kok, tenang saja. Kalau si Otong atau si Ucok tak mampu bayar SPP memangnya kenapa? Masih banyak kok yang mampu. Biaya operasional sekolah kan mahal, kalau tidak mampu ya jangan sekolah. Darimana nanti biaya studi banding ke luar negri atau biaya cicilan mobil kepala sekolah? Di dunia ini tidak ada yang gratis. Kalau Tini atau Tono tidak lulus ujian memangnya kenapa? Itu kan salah mereka sendiri. Sudah diajari, tapi tidak bisa mengerjakan soal. Setiap hari diberikan contoh soal, disuruh mencatat tulisan di papan tulis, tapi masih juga tidak lulus. Padahal sudah disuruh membeli buku pelajaran seabrek, tapi tidak dibeli. Ya salah mereka sendiri, memang tidak ada kemauan untuk lulus bukan alasan tak ada fulus. Kalau si Siti atau Budi meninggal di tengah proses pendidikan memangnya kenapa? Itu kan karena sakit liver, pembinaannya baik-baik saja kok. Baru 37 saja yang mati kok sudah ribut?

Begitulah. Cantik bukan wajah pendidikan Indonesia? 22 juta, atau mungkin lebih, penduduk Indonesia terlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing sehingga luput menengok masalah kecil yang kini membengkak. Sebagian ruwet mondar-mandir antara rumah dan kantor. Presentasi di sana, transaksi di sini. Sebagian lagi tenggelam di tempat-tempat ibadah. Mencari 70.000 vagina basah kedamaian bagi batinnya sendiri. Sisanya terlalu malas untuk peduli.

Banyak masalah lain yang bisa kita tuntaskan bila kita mampu meningkatkan kualitas pendidikan, bukan lagi kuantitas. Untuk apa ribuan sekolah tersebar di Indonesia kalau kita masih saja mengalami buta huruf dan kemiskinan. Berikan vitamin dari dalam untuk pendidikan Indonesia, sehingga kulit luarnya pun akan ikut cerah. Sampai kapan kita akan terus mengekspor TKI? Kapan kita akan mulai mengirim insinyur?