Ditulis oleh Hiruta

Tulisan ini ada sebagai salah satu bentuk keprihatinan saya dengan fenomena yang terjadi belakangan saat ini, dan saya pikir ini ada hubungannya dengan salah satu konsekuensi bahwa umat muslim di Indonesia terbagi ke dalam beberapa jamaah/pergerakan (atau dikenal juga dengan istilah harakah) yang masing-masing jamaah/pergerakan ini memiliki pengikut setianya sendiri-sendiri. Maka, kita mulai dari sini.

Apa yang membuat seseorang dan beberapa lainnya begitu keukeuh dan ngotot saat mengatakan bahwa ”Pokoknya™, kamilah yang paling benar!”?

Yak, sampai disitu, kita berhenti dulu, mari sebentar kita tilik bahasan berikut.

Suatu Senin, saya mendapat jadwal untuk kuliah Theory of Cross Cultural Communication, di mana kuliah ini menghadirkan pelajarannya dalam bentuk film yang ditonton oleh seisi kelas. Ah ya, jika Anda penasaran lebih lanjut tentang kuliah saya yang satu ini, Anda bisa membaca sedikit tentangnya di sini :mrgreen: . Sebelum film untuk hari itu dimulai, dosen saya membahas sedikit tentang bagaimana peradaban dan kebudayaan di dunia menjadi sedemikian beragamnya – dan, tidak bisa dipungkiri, ada kebudayaan dari bangsa tertentu yang berperan besar dalam mempengaruhi kebudayaan dunia pada umumnya.

Secara umum, menurut studi dalam Teori Komunikasi Lintas Budaya ini, kebudayaan dunia yang menonjol terdiri atas beberapa bangsa di dunia. Diantaranya:

    1. China

    2. India

    3. Arab + Arab Islam

    4. Persia + Persia Islam

    5. Turki + Ottoman

    6. Islam Asia Tenggara (Indonesia dan Malaysia)

    7. Polynesia (Malay Polinesia)

    8. Penduduk bagian selatan (Eskimo)

    9. Greco Roman

Sekurangnya, sembilan bangsa itulah yang menyumbang keberagaman kebudayaan di dunia. Ada yang menarik, terlebih saat dosen saya itu tersenyum khusus ke arah saya — sambil, sekali lagi, menggaris bawahi antara Islam Arab dan Islam Asia Tenggara. Seperti mengisyaratkan, ‘yah, memang begitu bukan kenyataannya, perbedaan antara dua kebudayaan Islam ini’. Dan saya hanya mengangguk dengan senyum juga.

Sebenarnya ada yang ingin saya katakan pada dosen saya itu, bahwa kalau dilihat lagi, kehidupan beragama umat Muslim di Indonesia hari ini ternyata tidak lepas dari pengaruh ekspansi dakwah dan metode (terkadang disebut juga dengan istilah manhaj) pergerakan Islam di tanah Arab. Tapi, saya urungkan untuk beberapa alasan: pertama, saya tidak bisa dikatakan cukup tahu secara mendetil, bagaimana kemudian beberapa pergerakan di Indonesia muncul (terutama yang bersumber dari Arab dan juga Timur Tengah) sana. Kedua, saya mengasumsikan bahwa dosen saya itu, kemungkinan besar, tidak tahu bahwa di Indonesia sekarang ada banyak kelompok/pergerakan (harakah) — yang masing-masing punya pengikutnya sendiri. Jadi, akhirnya pertanyaan tersebut saya simpan untuk diri saya pribadi saja.

Ah, jadi begitulah. Ada sesuatu yang menarik bagi saya – bahwasanya, berdasarkan pemaparan yang dilakukan dosen saya, maka umat Muslim Indonesia (dan juga Malaysia) punya kekhasannya tersendiri yang berbeda daripada Muslim Arab sana.Dan seperti yang kita tahu, umat muslim di negeri ini terdistribusi dalam beberapa kelompok, jamaah, maupun pergerakan (harakah). Bahkan, selain berupa jamaah/pergerakan, berkelompoknya muslim di Indonesia juga dilengkapi oleh asimilasi dari berbagai unsur budaya – kita semua tahu bahwa muslim Indonesia menyerap budaya muslim Arab, India/Gujarat, Cina, dan seterusnya, dan seterusnya. Di titik ini, perbedaan menjadi tidak hanya terkait jamaah saja; melainkan juga sudah melibatkan elemen etnis dan budaya tersendiri.

Tapi, untuk saat ini, saya kira tidak begitu penting menyebutkannya satu persatu secara detil, karena yang akan dibahas di sini adalah pandangan terhadap kehidupan berkelompoknya umat Muslim Indonesia yang khas ini.

Menyikapi adanya bermacam kelompok, pergerakan, dan jamaah ini tentunya tidak perlu secara ekstrim dan cynical. Bijak saja dengan realitas ini. Kalaupun kita tidak bisa terima, menggugat mereka untuk menggugurkan pengotakan itu dan menjadi satu yang homogen, saya kira itu adalah satu solusi fatal sendiri. Kelompok-kelompok itu sudah ada, dan apa sikap terbaik — yang tidak memperburuk keadaan — yang bisa kita ambil untuk sekarang ini? Mungkin bersikap bijak dan menanggapinya dengan open mind dan kritis. Silahkan jika anda punya tanggapan lain. 🙂

Jadi, sejauh pengelompokan itu tidak disikapi secara berlebihan dan bisa berjalan dengan baik, tanpa bersinggungan satu sama lain, serta bisa beradaptasi dengan ranah sosial dan warna lokal kehidupan masyarakat Indonesia, kenapa tidak?

***

Pun begitu, pengelompokan macam ini juga bisa menuai masalah; terutama saat adanya sikap bangga diri internal antara satu sama lain. Ujungnya tentu saja bisa ditebak — terjadilah kegiatan merendahkan kelompok, jamaah, pergerakan , dan juga orang lain yang berada di luar lingkaran kelompoknya. Dan ini, hingga taraf tertentu, bisa disebut sebagai ‘virus’ dalam lingkup kehidupan sosial di suatu daerah – dalam skala tertentu, inilah yang beberapa kali terjadi di Indonesia. 🙄

Kebanggaan kolektif ini lebih sulit penanggulangannya daripada kebanggaan individual, dan imbasnya sendiri bisa dibilang cukup besar. Alhasil, timbullah sikap-sikap yang merasa bahwa dirinya dan kelompoknya-lah yang paling benar – dan, pada derajat tertentu, berakibat pada munculnya klaim-klaim sepihak yang menyatakan bahwa orang lain adalah sesat-menyesatkan, kafir, ahli bid’ah, ahli syirik, maupun ahli maksiat. Meminjam istilah yang ditemukan oleh seseorang, tampaknya semangat ”Kamilah yang Paling Benar sedang diterapkan dengan ampuh di sini. 😛

Apalagi akibat fatal lainnya? Dengan kebanggaan golongan seperti ini, akibat lain yang ditimbulkan adalah sikap eksklusif/menutup diri. Dan rantai akibatnya masih akan berlanjut — yaitu tidak bisa (atau tidak mau?) menerima kebenaran dan mengambil pelajaran dari orang lain, apalagi jika orang lain itu berasal dari kelompok atau harakah lain (gengsi kolektifkah ini?). Ini bisa berdampak pada mandeknya perkembangan kelompok/pergerakan tersebut; dengan efek destruktif yang cukup besar pada umat/negara pada umumnya. Padahal jika saja mereka bisa bersikap terbuka dan menyikapi perbedaan yang ada, kerja sama untuk kebaikan toh tetap bisa dilakukan. Dan ini tentunya lebih punya kontribusi ke masyarakat — daripada sekedar mengotak-ngotakkan diri dan mengecam pihak lain sambil memicu perpecahan.

Jadi? :mrgreen:

Ya, begitulah… hati-hatilah dengan virus bangga diri ini. Introspeksi diri mulai sekarang. Tentunya kita semua berusaha untuk berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran; tetapi, mengklaim sepihak bahwa kita yang paling benar adalah satu kesalahan fatal™ dan berbahaya™. *meracuni dengan prinsip baru* *bletaak* 😛

Ah, lagipula, lagipula, Surga itu mutlak milik Tuhan, bukan? Bukan milik siapa-siapa atau kelompok/pergerakan tertentu lho. Kelompok, jamaah, atau pergerakan apapun itu hanya sebagai media saja, kita toh dihisab sendiri-sendiri juga nantinya. 🙂

Ps:

Harap baca baik-baik dan
bereaksilah secara proporsional :mrgreen:

Referensi : artikel “ Jauhi Racun Ashabiyah” di Hidayatullah.